Nganjuk, KabarNganjuk.com- 50 Warga Dibantai Secara Sadis Saat Agresi Militer Belanda Dua
Tahukah anda jika pada masa revolusi mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dahulu, di sebuah daerah di Kabupaten Nganjuk terjadi peristiwa kelam, yang sangat sadis dan biadab. Peristiwa tersebut luput dari catatan sejarah dan sudah terlupakan.
Periswa itu terjadi pada awal tahun 1949, ketika penjajah Belanda melakukan agresi Militer kedua terhadap wilayah negara Indonesia yang baru berdiri. Tentara Belanda, yg disebut KNIL melakukan pembantaian terhadap sekitar 50 warga Dusun Plimping, Desa Gebangkerep dan warga Dusun Sedan, Desa Kemlokolegi, Kecamatan Baron.
Kejadian kelam tersebut justru diungkap oleh laporan Belanda sendiri yg diberi judul ” Onze Marinir” Tahun 1950. Tetapi dalam laporan itu, terjadi pemutar balikkan fakta yg sebenarnya. Tentara KNIL Belanda yg kebanyakan dari orang pribumi Indonesia, seperti dari suku Madura dan orang Ambon yg membantai warga tidak berdosa itu berdalih, 50 orang tersebut mereka eksekusi karena sebagai girilyawan Indonesia yg melawan Belanda.
Namun menurut hasil penelitian sejarah yg dilakukan oleh Komunitas Roodebrug Soerabaya, menyebutkan 50 orang yg dibantai secara sadis tersebut merupakan orang sipil, warga Dusun Sedan dan warga Dusun Plimping.
Komunitas Roodebrug Soerabaya, melakukan penelusuran sejarah kelam tersebut pada tahun 2012 silam. Mereka dibantu data data dari kalangan Belanda sendiri seperti KUKB Max Van Der Werf, Marjolein Van Page.
Dari penelusuran sejarah itu disebutkan, tentara KNIL yg melakukan pembantaian tersebut berasal dari Resimen Kavaleri Huzaren Van Boreel. Resimen ini bertugas melakukan kontra gerilnya melawan tentara dan pejuang Indonesia yg melakukan perang gerilya melawan Belanda.
Resimen KNIL tersebut awalnya mendarat di Tuban, kemudian bergerak ke Jombang. Dari Jombang mereka bergerak ke arah Nganjuk, dengan mengendari kendaraan tempur dan sejumlah panser. Mengetahui gerakan tentara Belanda tersebut, satuan Tentara Indonesia dan para pejuang kemerdekaan berupaya untuk menghambatnya, dengan cara akan memutus jembatan Kertosono, dengan tujuan menghentikan laju ofensif tentara Belanda. Upaya memutus jembatan Kertosono gagal, karena kuatnya bangunan jembatan.
Kemudian strategi yg dipilih Tentara Indonesia dan pejuang untuk menghentikan gerakan tentara Belanda tersebut adalah dengan memasang sejumlah ranjau di jalan antara Kertosono-Baron. Selanjut, jalan tersebut juga digali dan pohon pohon sepanjang jalan ditebangi di jejer melintang di tengah jalan.
Saat melintas di jalur tersebut, salah satu panser tentara Belanda terkena ranjau, yg akhirnya meledak dan menewaskan seorang tentara Belanda. Kemudian ada satu lagi tentara Belanda yang tewas disengat tawon liar. Tawon liar ini memang sengaja dipasang oleh pejuang Indonesia untuk menjebak tentara penjajah tersebut.
Dari dua peristiwa ini, tentara Belanda meluapkan ke marahnya, dengan melakukan operasi ke rumah rumah penduduk di Dusun Plimping dan Dusun Sedan . Warga yg didatangi rumahnya langsung diinterogasi tentang keberadaan tentara Indonesia dan para pejuang. Karena warga mengaku tidak tahu, mereka langsung dieksekusi, dengan cara ditembak, bahkan secara sadis ada yg ditebas lehernya.
Dari 50 orang korban pembantaian tersebut, Komunitas Roodebrug Soerabaya, berhasil menemukan 25 identitas korban. Mereka adalah, Abdul Latief, Anas, Dimin Wiryoredjo, Jayus, Kadiran, Kaelan, Kartobeno, Karto Sayang, Kodri, Mohamad Soleh, Malem, Nasirah, Mat Nyari, Moertiah, Munawar, Morjani, Paimin, Rohani, Saleh, Samad, Simobungkar, Sirep, Situn Simodariman dan Sutirah. Jenazah korban pembantaian sadis tersebut dimakamkan secara massal di makam Sedan.
Baik warga Plimping mau warga Dusun Sedan saat ini, pada umumnya mereka tidak mengetahui peristiwa kelam tempo dulu yg dialami warga dusunnya. Karena mereka saat ini merupakan generasi baru yg lahir di atas tahun 1945. Dan mereka mengaku tidak mendapatkan cerita tentang peristiwa kelam tersebut dari orang tuanya.
Namun demikian, masih ada warga yg bisa bercerita tentang kejadinan tersebut. Ia adalah Mbah Jinah (84). Saat ditemui di rumahnya di Dusun Sedan, ia menceritakan, saat itu pagi hari sekitar jam 09.00, tentara Belanda dengan membawa senjata lengkap dan baju dan celana kotak memenuhi jalanan Dusun Sedan-Plimping. Saat itu situasi mencekam. Mengetahui kondisj seperti itu, bapaknya mengajak mengungsi ke Sumur Pandan. Ibunya yg sedang hamil tua mengandung adiknya juga ikut berjalan mengungsi. Mbah Jinah mengaku, saat menuju ke Sumur Pandan tersebut ia digendong bapaknya
“Saat itu umur saya sekitat 7 tahun” Ujar Mbah Jinah.
Mengungsi di Sumur Pandan hanya semalam . Paginya, ia diajak pulang bapaknya ke rumah.
“Saat pulang sampai di rumah tentara Belanda sudah tidak ada,” Terang Mbah Jinah.
Pada saat itu juga banyak orang berkumpul di rumah Kamituwo Wongso Karto. Melihat itu, orang tuanya juga pergi ke rumah Kamituwo untuk mengetahui apa yg terjadi.
“Saat ke rumah Pak Kamituwo saya ikut. Saya digendong bapaku,” Ujarnya.
Sampai dirumah Kamituwo, Mbah Jirah mengaku, melihat banyak mayat yg dijejer di halaman.
” Mayat- mayat itu ditutupi daun pisang,” Papar Mbah Jinah.
Seingat Mbah Jinah, mayat mayat tersebut dimakamkan di makam Dusun Sedan. (Juwahir)