Nganjuk, KabarNganjuk.com- Kabupaten Nganjuk, yang dikenal dengan sebutan “Kota Angin”, bukan sekadar julukan belaka. Di balik hembusan angin yang sejuk dan sawah-sawah yang membentang luas, tersembunyi kekayaan budaya dan kearifan lokal yang menjadi identitas kuat masyarakatnya.
Kota Angin dan Filosofinya
Julukan Kota Angin berasal dari kondisi geografis Nganjuk yang sering diterpa angin kencang dari arah selatan. Namun lebih dari itu, angin di Nganjuk memiliki makna filosofis: ia datang tanpa pamrih, menyapa semua tanpa membeda-bedakan, dan hadir sebagai bagian alami dari kehidupan. Semangat ini tercermin dalam karakter warganya yang terbuka, ramah, dan suka bergotong royong.
Tayuban adalah Kekayaan Budaya Nganjuk yang Masih Lestari
Tayuban memang merupakan salah satu seni tari tradisional yang masih dilestarikan di Nganjuk dan beberapa wilayah sekitarnya di Jawa Timur. Tarian ini memiliki karakteristik tari pergaulan, namun juga sarat nilai adat dan simbolisme sosial.
Tayub tidak hanya dipertunjukkan untuk hiburan semata, tetapi seringkali tampil dalam konteks ritual adat atau acara penting, seperti:
-
Sedekah bumi
-
Panen raya
-
Ruwatan desa
-
Syukuran keluarga besar
Dalam konteks ini, tayuban dipahami sebagai bentuk rasa syukur kepada leluhur dan alam, sekaligus memohon keberkahan dan keselamatan bagi masyarakat.
Kuliner Khas: Cita Rasa yang Menjadi Identitas
Makanan tradisional menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Nganjuk. Salah satu yang paling terkenal adalah nasi becek, hidangan berkuah gurih mirip gulai kambing yang disajikan dengan lontong dan sambal kacang. Selain itu, ada juga pecel lorjuk, getuk pisang, dan tepo tahu, yang sering hadir dalam acara-acara adat dan sehari-hari. Cita rasa yang khas dan cara penyajian yang sederhana mencerminkan karakter masyarakat Nganjuk: bersahaja, ramah, dan apa adanya.
Bahasa sebagai Identitas Budaya
Bahasa Jawa dialek Nganjuk memiliki keunikan tersendiri. Perpaduan antara logat Mataraman dengan pengaruh dari daerah sekitarnya menciptakan ciri khas yang mudah dikenali. Bahasa ini tidak hanya menjadi alat komunikasi, tapi juga cerminan nilai-nilai seperti unggah-ungguh (tata krama), andhap asor (rendah hati), dan tepa selira (tenggang rasa). Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cermin dari etika dan nilai-nilai sosial yang dihormati secara turun-temurun.
Nilai Gotong Royong di Setiap Sudut Desa
Di desa-desa Nganjuk, kerja bakti bukan hal langka. Ketika ada warga yang membangun rumah, hajatan, atau tertimpa musibah, tetangga akan datang tanpa diminta. Mereka membawa tenaga, bahan makanan, atau sekadar doa. Semangat gotong royong ini tumbuh dari kepercayaan bahwa kehidupan akan lebih ringan jika dijalani bersama-sama.
Kesenian Rakyat dan Kerajinan Tradisional
Berbagai kesenian rakyat seperti wayang kulit, reog, dan jaranan masih eksis di beberapa desa sebagai bagian dari perayaan atau peringatan hari besar. Selain itu, batik khas Nganjuk dengan motif tembakau dan tanaman lokal juga mulai digalakkan kembali oleh pengrajin muda. Ini adalah bentuk inovasi yang tetap berpijak pada akar budaya.
Kearifan lokal Nganjuk bukan benda mati. Ia hidup dalam tutur kata, gerak tubuh, aroma makanan, dan cara masyarakat saling berinteraksi. Ketika budaya lain mulai ditinggalkan, Nganjuk justru memperkuat identitasnya — tidak untuk melawan modernitas, tetapi untuk menyeimbangkannya.
Karena di tanah ini, budaya bukan sekadar warisan. Ia adalah cara hidup.